Tuesday, 7 October 2014

mevlana

Museum Mevlana Jalaluddin Rumi, Konya

Jalaludin Rumi atau nama lengkapnya Maulana/ Mevlana Jalaluddin Rumi Muhammad bin Hasin al Khattabi al-Bakri adalah sang pujangga sufi dari tanah Persia. Selain penyair dia juga tokoh sufi yang berpengaruh di zamannya. Lahir pada 30 September 1207 Masehi di Balkh sebuah kota kecil di kota Khurasan, Afghanistan dan meninggal pada 17 Desember 1273 Masehi di Konya ,Turki.

Tempat dimana Rumi mendirikan sekolah dan tempat dimana kemudian beliau dimakamkan itulah kemudian didirikan museum Mevlana.
Ditempat itu pula dulu pernah menjadi pondok atau sekolah untuk para darwis , yang lebih dikenal sebagai whirling dervishes.

Zikir adalah salah satu tuntunan Nabi Muhammad SAW untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.  Jalaluddin Rumi, kemudian mengembangkan metode zikir dengan gerakan berputar yang dikenal sebagai ”Dervish Dance”.

Teknik menarikan ”Tari Darwis” sangat mudah. Inti gerakan tari ini adalah berputar yang dilakukan searah jarum jam dan dilakukan terus-menerus. Gerakan ini simbol alam semesta yang selalu berputar mengelilingi garis edar masing-masing.

Tangan kanan menghadap ke atas sebagai simbol menerima karunia Allah dan tangan kiri menghadap ke bawah yang bermakna hendaknya manusia memberikan cinta kasih kepada sesama.

Terkadang masyarakat awam mengira orang yang menari Darwis kesurupan karena bisa berputar-putar begitu lama. Tidak, mereka bukan kesurupan. Mereka justru tengah berada dalam kesadaran yang tinggi, mampu mengidentifikasi keadaan di sekitarnya dengan lebih baik. Ini berujung pada kesadaran siapa diri kita sebenarnya
Tarian Darwis / Sufi Berputar

Memasuki area museum melalui gerbang utama ke halaman marmer-beraspal. Air mancur terletak di tengah-tengah halaman itu dibangun oleh Yavuz Sultan Selim. Adapun sebelum masuk kedalam museum ini kita diwajibkan untuk melapisi sepatu atau alas kaki kita dengan plastik yang disediakan.

                                 Satu philosophy dari Mevlana Rumi yang akan terus teringat adalah ; bahwa manusia terlahir untuk mati, jadi berbuat baiklah kita kepada semua orang.

Rumi lahir di Afghanistan dan besar di Turki (ketika itu kedua wilayah itu merupakan bagian kerajaan Persia). Ia seorang guru madrasah yang menjadi terkenal sebagai seorang sufi atau ahli mistik. Banyak orang secara keliru mengartikan mistik sebagai gaib atau takhayul. Padahal mistik (nama lain: sufisme atau tasawuf) adalah sebuah dimensi atau sub-sistem dalam suatu agama yang menkankan pendekatan diri kepada Allah dan pemenuhan kebutuhan untuk mengalami perasaan menyatu dengan Allah. Di sepanjang sejarah, terdapat tokoh-tokoh mistik di dalam setiap agama. Mistik tidak mementingkan aspek-aspek formal seperti doktrin, peraturan, dan kelembagaan agama, melainkan aspek batin seperti kesalehan, kedamaian, dan cinta kasih. Ini melampaui segala pagar agama. Orang beragama dan berbangsa apapun dirangkul sebagai “sesame kekasih Allah”.

Rumi mendapat pengaruh dari beberapa ahli mistik Islam seperti Al-Ghazali (abad ke-11), Sana’I dan Aththar (abad ke-12) serta ahli mistik Kristen seperti Augustinus (abad ke-4) dan Fransiskus Asisi yang hidup sezaman dengan Rumi.

Rumi menuangkan penghayatan mistiknya dalam puisi berbahasa Persia. Karya agungnya berjudul Matsnawi yang terdiri atas sekitar 25.700 bait yang mulai ditulisnya pada usia 54 tahun sampai wafatnya pada usia 66 tahun. Tema yang mendominasi puisinya adalah kehausan makhluk untuk menyatu dengan Sang Pencipta.

Rumi pun mengungkapkan spiritualitasnya dalam bentuk tarian yang disebut samah. Tarian meditative inilah yang sekarang bisa disaksikan oleh para  pelancong di Istanbul. Suasananya khidmat dan sederhana, bertempat di sebuah bangsal bangunan antic, tanpa panggung dan tanpa sorotan lampu. Tempat duduk diatur setengah melingkar. Musiknya adalah petikan siter atau kecapi, tabuhan gendang, tiupan suling, dan senandung para penembang dengan lirik karya Rumi berbahasa Turki. Sejumlah penari (kebanyakan pria) tampil sambil berputar. Mereka berjubah hitam dengan topi tarbus tinggi berbentuk kerucut tumpul. Di tengah tarian mereka melepas jubah hitam yang melambangkan kuburan ego atau ke-aku-an. Ternyata di balik jubah hitam itu mereka mengenakan baju lengan panjang berwarna putih. Mereka berputar-putar se arah jarum jam. Semua itu mengandung makna yang sangat dalam. Putaran itu melambangkan harmoni dengan putaran kosmos. Hentakan kaki melambangkan komitmen membuang semua perbuatan duniawi. Penonton dilarang bertepuk tangan. Memang benar, bagaimana mungkin kita bertepuk tangan dalam suasana yang begitu khidmat dan teduh? Selama satu jam jiwa kita ikut menari dan terangkat tinggi mendekat pada Tuhan.


Sejak awalnya semua puisi dan tarian warisan Rumi bersifat universal. Orang beragama dan berbangsa apapun adalah sesama kekasih Allah. Oleh sebab itu, meskipun Rumi mengalami sendiri berbagai penderitaan akibat serangan Mongolia dan perang salib, namun di dalam puisinya sama sekali tidak terdapat nada kebencian. Sebaliknya, puisinya bernada cinta kasih. Demikian juga dari awal lahirnya tarian Samah, Rumi menari bukan hanya dengan teman yang Muslim, melainkan juga dengan teman-temannya yang beragama Zoroaster, Jaina, Yahudi dan Kristen. Bukankah itu pula makna hidup? Dunia adalah panggung tari. Allah mengajak kita menari. Bukan menari sendirian, melainkan menari bersama semua kekasih Allah yang berbangsa dan beragama lain. Kita menari dengan irama yang sama dan putaran yang sama. Kita menanggalkan jubah ego chauvinisme agama dan bangsa yang sempit serta kerdil. Kita berputar bersama, mendekat dan semakin mendekat pada Sang kekasih. 

No comments:

Post a Comment