Museum Mevlana Jalaluddin Rumi, Konya
Jalaludin Rumi atau nama lengkapnya Maulana/ Mevlana
Jalaluddin Rumi Muhammad bin Hasin al Khattabi al-Bakri adalah sang pujangga
sufi dari tanah Persia. Selain penyair dia juga tokoh sufi yang berpengaruh di
zamannya. Lahir pada 30 September 1207 Masehi di Balkh sebuah kota kecil di
kota Khurasan, Afghanistan dan meninggal pada 17 Desember 1273 Masehi di Konya
,Turki.
Tempat dimana Rumi mendirikan sekolah dan tempat dimana
kemudian beliau dimakamkan itulah kemudian didirikan museum Mevlana.
Ditempat itu pula dulu pernah menjadi pondok atau sekolah
untuk para darwis , yang lebih dikenal sebagai whirling dervishes.
Zikir adalah salah satu tuntunan Nabi Muhammad SAW untuk
mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Jalaluddin Rumi, kemudian mengembangkan metode zikir dengan gerakan
berputar yang dikenal sebagai ”Dervish Dance”.
Teknik menarikan ”Tari Darwis” sangat mudah. Inti gerakan
tari ini adalah berputar yang dilakukan searah jarum jam dan dilakukan
terus-menerus. Gerakan ini simbol alam semesta yang selalu berputar
mengelilingi garis edar masing-masing.
Tangan kanan menghadap ke atas sebagai simbol menerima
karunia Allah dan tangan kiri menghadap ke bawah yang bermakna hendaknya
manusia memberikan cinta kasih kepada sesama.
Terkadang masyarakat awam mengira orang yang menari Darwis
kesurupan karena bisa berputar-putar begitu lama. Tidak, mereka bukan
kesurupan. Mereka justru tengah berada dalam kesadaran yang tinggi, mampu
mengidentifikasi keadaan di sekitarnya dengan lebih baik. Ini berujung pada
kesadaran siapa diri kita sebenarnya
Tarian Darwis / Sufi Berputar
Memasuki area museum melalui gerbang utama ke halaman marmer-beraspal. Air mancur terletak di tengah-tengah halaman itu dibangun oleh Yavuz Sultan Selim. Adapun sebelum masuk kedalam museum ini kita diwajibkan untuk melapisi sepatu atau alas kaki kita dengan plastik yang disediakan.
Satu philosophy
dari Mevlana Rumi yang akan terus teringat adalah ; bahwa manusia terlahir
untuk mati, jadi berbuat baiklah kita kepada semua orang.
Rumi
lahir di Afghanistan dan besar di Turki (ketika itu kedua wilayah itu merupakan
bagian kerajaan Persia). Ia seorang guru madrasah yang menjadi terkenal sebagai
seorang sufi atau ahli mistik. Banyak orang secara keliru mengartikan mistik
sebagai gaib atau takhayul. Padahal mistik (nama lain: sufisme atau tasawuf)
adalah sebuah dimensi atau sub-sistem dalam suatu agama yang menkankan
pendekatan diri kepada Allah dan pemenuhan kebutuhan untuk mengalami perasaan
menyatu dengan Allah. Di sepanjang sejarah, terdapat tokoh-tokoh mistik di
dalam setiap agama. Mistik tidak mementingkan aspek-aspek formal seperti
doktrin, peraturan, dan kelembagaan agama, melainkan aspek batin seperti
kesalehan, kedamaian, dan cinta kasih. Ini melampaui segala pagar agama. Orang
beragama dan berbangsa apapun dirangkul sebagai “sesame kekasih Allah”.
Rumi
mendapat pengaruh dari beberapa ahli mistik Islam seperti Al-Ghazali (abad
ke-11), Sana’I dan Aththar (abad ke-12) serta ahli mistik Kristen seperti
Augustinus (abad ke-4) dan Fransiskus Asisi yang hidup sezaman dengan Rumi.
Rumi
menuangkan penghayatan mistiknya dalam puisi berbahasa Persia. Karya agungnya
berjudul Matsnawi yang terdiri atas sekitar 25.700 bait yang mulai ditulisnya
pada usia 54 tahun sampai wafatnya pada usia 66 tahun. Tema yang mendominasi
puisinya adalah kehausan makhluk untuk menyatu dengan Sang Pencipta.
Rumi
pun mengungkapkan spiritualitasnya dalam bentuk tarian yang disebut samah.
Tarian meditative inilah yang sekarang bisa disaksikan oleh para pelancong di
Istanbul. Suasananya khidmat dan sederhana, bertempat di sebuah bangsal
bangunan antic, tanpa panggung dan tanpa sorotan lampu. Tempat duduk diatur
setengah melingkar. Musiknya adalah petikan siter atau kecapi, tabuhan gendang,
tiupan suling, dan senandung para penembang dengan lirik karya Rumi berbahasa
Turki. Sejumlah penari (kebanyakan pria) tampil sambil berputar. Mereka
berjubah hitam dengan topi tarbus tinggi berbentuk kerucut tumpul. Di tengah
tarian mereka melepas jubah hitam yang melambangkan kuburan ego atau ke-aku-an.
Ternyata di balik jubah hitam itu mereka mengenakan baju lengan panjang
berwarna putih. Mereka berputar-putar se arah jarum jam. Semua itu mengandung
makna yang sangat dalam. Putaran itu melambangkan harmoni dengan putaran
kosmos. Hentakan kaki melambangkan komitmen membuang semua perbuatan duniawi.
Penonton dilarang bertepuk tangan. Memang benar, bagaimana mungkin kita
bertepuk tangan dalam suasana yang begitu khidmat dan teduh? Selama satu jam
jiwa kita ikut menari dan terangkat tinggi mendekat pada Tuhan.
Sejak
awalnya semua puisi dan tarian warisan Rumi bersifat universal. Orang beragama
dan berbangsa apapun adalah sesama kekasih Allah. Oleh sebab itu, meskipun Rumi
mengalami sendiri berbagai penderitaan akibat serangan Mongolia dan perang
salib, namun di dalam puisinya sama sekali tidak terdapat nada kebencian.
Sebaliknya, puisinya bernada cinta kasih. Demikian juga dari awal lahirnya
tarian Samah, Rumi menari bukan hanya dengan teman yang Muslim, melainkan juga
dengan teman-temannya yang beragama Zoroaster, Jaina, Yahudi dan Kristen.
Bukankah itu pula makna hidup? Dunia adalah panggung tari. Allah mengajak kita
menari. Bukan menari sendirian, melainkan menari bersama semua kekasih Allah
yang berbangsa dan beragama lain. Kita menari dengan irama yang sama dan
putaran yang sama. Kita menanggalkan jubah ego chauvinisme agama dan bangsa
yang sempit serta kerdil. Kita berputar bersama, mendekat dan semakin mendekat
pada Sang kekasih.
No comments:
Post a Comment